Laman

Kamis, 25 Desember 2008

MENJELAJAHI TAKAO-QUASI NATIONAL PARK DALAM SATU HARI


Sabtu pagi yang tidak terlalu cerah menghantarkan sinar sang surya diantara slimut mendung, sejenak membuat aku ragu untuk berangkat atau tidak ke puncak gunung Takao. Namun sekitar jam 9 waktu Tokyo, aku memantapkan diri untuk berangkat. Dengan bekal yang cukup untuk 1 hari, aku naik subway Fukutoshin Line menuju Ikebukuro. Lalu ganti kereta Yamanote Line ke arah Shinjuku. Di sini aku pindah lagi naik kereta Keio Line menuju Takaosanguchi. Tepat pintu keluar Takaosanguchi eki sudah terpampang peta taman national Takao-Quasi.

Dari eki atau stasiun, ada 2 jalan menuju pintu gerbang taman nasional. Yang satu lewat jalan besar yang lainnya lewat jalan yang khusus untuk pejalan kaki. Aku putuskan lewat jalan yang disebut terakhir karena lebih dekat. Sampai di halaman pintu masuk sudah penuh sesak, karena di hari libur ini ada banyak atraksi, mulai dari seni tabuh dendang sampai tarian tradisional Jepang silih berganti menyajikan keindahannya. Sejenak aku nikmati atraksi itu karena semuanya gratis, demikian pula dengan masuk kawasan taman nasionalnya. Tak lama kemudian, mulailah aku hiking menuju puncak Takao-san.Tentunya aku tidak lupa untuk mengambil brosur dan peta yang tersedia gratis. Informasi yang disajikan sangat lengkap dengan beragam foto dan informasi, termasuk waktu-waktu terbaik untuk melihat masing-masing keindahan atraksi alamnya.

Jalan setapak yang aku lalui cukup lebar, bahkan bisa dilewati mobil. Rupanya ini adalah jalan utama dan masih ada 5 alternatif jalan yang masing-masing menyuguhkan keindahan alam yang berbeda. Jalur 1 yang merupakan jalur utama didominasi pohon cedar yang selalu hijau dan pohon maple yang saat ini puncaknya memerah. Istilah Jepangnya ‘momiji’. Satwanya sangat beragam, mulai dari berbagai jenis burung, kupu-kupu, serangga sampai monyet. Jalur ini melewati Takaosan Yaku-ou-in Shrine (tempat ibadah Shinto). Rupanya hal inilah yang membuat jalur 1 selalu padat pengunjung (mulai dari anak-anak sampai manula) dengan tujuan berziarah atau berdoa memohon berkah. Fasilitas jalur 1 (dikenal dengan jalur Omotesando) terbilang paling lengkap. Ada kereta gantung dan juga kursi gantung bagi mereka yang kurang mampu hiking atau bagi mereka yang ingin melihat keindahan momiji dari sisi yang lain. Petunjuk jalannya lengkap dengan jarak tempuh, jarak yang sudah di tempuh dan jarak yang akan ditempuh. Papan informasi mengenai atraksi satwa dan alamnya tersaji tepat di lokasinya. Papan nama tumbuhan untuk arboretum juga ada. Betul-betul bisa dinikmati bagi kepentingan pendidikan.

Jalur 2 merupakan persimpangan dari jalur satu. Ketika sampai di Refresement area ada jalur ke kiri. Nah itulah jalur 2 yang melewati natural flora dan fauna garden. Jalur yang dikenal dengan nama Tako Sugi ini ternyata tembus lagi ke jalur 1 tepat sebelum masuk Takaosan Yaku-ou-in Shrine. Sedangkan untuk jalur 3 yang dikenal dengan nama Katsurabayashi dimulai dari persimpangan di jalur 1 setelah jalur 2 masuk lagi ke jalur 1. Dengan mengambil arah ke kiri dari persimpangan, terlihat bahwa jalur ini seakan memisahkan hutan berdasarkan warna daun, karena sebelah kiri jalan pohonnya didominasi oleh pohon maple yang sedang momiji, sedangkan di sebelah kanan jalan didominasi pohon cedar yang selalu hijau berderet-deret. Pohon cedarnya tinggi dan besar dengan usia diperkirakan ratusan tahun. Betul-betul pemandangan yang mempesona.

Jalur 4 juga merupakan persimpangan dari jalur 1. Persimpangannya tepat setelah menara pandang di daerah yang dinamakan Joshin Gate (karena ada gerbang shinto). Jalur yang dikenalkan dengan nama Tsuribashi memiliki pemandangan yang hijau. Di jalur ini pulalah kita dapat melalui jembatan gantung di atas sungai yang jernih airnya. Setelah itu kita disuguhi hutan sakura Itchodaira, yang tentunya saat ini sedang gugur. Tak terbayang indahnya jika kita melewati jalur ini saat musim semi.

Jalur 5 sebenarnya adalah jalur yang melingkari puncak gunung Takao. Oleh karena itu jalur ini melewati semua jalur yang menuju puncak. Dari jalur ini kita bisa melihat keindahan deretan pegunungan dan perbukitan di sekitar Takaosan, termasuk juga kemegahan kota Tokyo.
Yang terakhir adalah jalur 6 (jalur Biwataki) yang jaraknya lebih jauh dari jalur 1 dan cenderung melingkar. Jalur ini dimulai dari pintu masuk taman nasional dengan mengambil jalan yang ke kiri. Jalannya setapak dan lebih kecil jika dibandingkan jalur 1. Di jalur ini tersaji beragam bunga hutan dan burung-burung liar. Tidak hanya itu, ternyata di jalur ini melewati air terjun Biwaki yang biasa dipakai untuk bermeditasi. Setelah itu kita juga melewati jembatan gantung Ooyama bridge. Yang lebih asyik lagi adalah menjelang puncak gunung Takao, ada satu tempat dimana kita bisa melihat gunung Fujiyama secara jelas, tentunya dengan kondisi cuaca dan propagasi yang baik. Papan informasi di dekat lokasi yang menggambarkan scenery yang terlihat oleh pengunjung, sangat memudahkan kita untuk mengenali masing-masing gunung.

Gunung Takao dengan ketinggian hanya 599 meter dpl (di atas pemukaan laut) menyuguhkan keindahan alam yang luar biasa. Meski kalau di Indonesia tempat seperti ini bukan disebut gunung tetapi bukit, namun yang terpenting adalah pengelolaannya yang nyaris sempurna. Di setiap jalur tersedia shelter yang nyaman dan mudah dijangkau. Toilet tersedia gratis dan bersih dengan jarak tertentu di setiap jalurnya. Untuk jalur yang dianggap rawan bencana, sudah diantisipasi dengan pagar pembatas, jalan bertingkat dan tali pengaman. Sedangkan untuk keadaan darurat seperti adanya kebakaran atau pengunjung yang sakit, maka jalur 1 merupakan jalur evakuasinya, karena mobil ambulance dan pemadam dapat meluncur sampai ke refreshement area. Di refreshment area disediakan kios-kios bagi warga sekitar untuk berjualan makanan tradisional, mainan tradisional bagi anak-anak dan beragam souvenir khas Takao. Disini sangat terlihat bahwa keberadaan taman nasional bisa memberikan nilai tambah bagi warga lokal dari segi ekoturisme.

Pengelolaan taman nasional dibiayai oleh Pemerintah Kota Metropolitan Tokyo. Adapun pengelolaan sarananya didanai dari pendapatan kereta gantung dan kursi gantung yang memang tarifnya 900 yen (Rp.108.000) untuk dewasa dan setengahnya untuk anak-anak. Adapun untuk pemeliharaan Takaosan Yaku-ou-in Shrine diperoleh dana dari sumbangan para peziarah dan pendoa. Tentunya donatur lepas dan pihak swasta membantu sumber dana pengelolaan taman nasional ini.

Terlepas dari semua permasalah dalam pengelolaan suatu taman nasional, dari Takao-Quasi National Park, terlihat jelas perencanaan yang matang dan berkelanjutan. Dari setiap tahap perencanaan, fungsi reality check berjalan guna mencapai hasil yang maksimal. Dengan didukung pemahaman tentang potensi yang tepat dan cermat juga berperan dalam memunculkan semua atraksi alam yang dimiliki. Dan guna menjaga kelanggengan potensi alam beserta sarananya, tidak terlepas peran para pengunjung itu sendiri. Di sini pengunjung memliki kesadaran penuh untuk menjaga kebersihan dan keselamatan. Tidak ada yang membuang sampah sembarangan. Bahkan untuk buang hajat saja, mereka rela antri di pintu toilet. Budaya inilah yang belum sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Semoga bisa berubah.

Perjalananku ke puncak Takao-san berlanjut ke puncak gunung berikutnya, yaitu gunung Shiroyama dengan ketinggian 670 m dpl, gunung Kagenobu dengan ketinggian 727 m dpl dan gunung Jinba dengan ketinggian 857 m dpl. Di tiga lokasi ini fasilitas yang disediakan betul-betul untuk tujuan hiking. Tidak ada atraksi kesenian dan minim fasilitas toilet. Namun jalan setapak yang nyaman dan aman masih terjaga, meski di beberapa lokasi ada yang longsor. Beberapa pohon sengaja di tebang di sisi jalan guna memudahkan kita melihat view-view tertentu yang indah. Papan petunjuk jalan dan papan informasi selalu terpampang di tempat yang mudah terlihat. Shelter di bangun di lokasi yang tepat untuk beristirahat. Biasanya selepas tanjakan berat dan lokasinya memiliki view yang indah. Disini tersedia juga toilet dan kios penjual makanan. Yang menarik dari perjalanan ini adalah di setiap tempat yang dituju selalu tersedia stempel yang menandakan bahwa kita pernah di sana. Mulai dari stasiun sebelum masuk taman nasional sampai gunung tertinggi di kawasan ini. Jadi untuk menunjukkan bahwa kita pernah sampai di satu lokasi bukan dengan mencoret-coret batuan, tetapi dengan menyetempel selembar kertas yang khusus disediakan untuk itu di pintu masuk taman nasional.

Perjalananku selanjutnya adalah turun gunung. Disini aku mengambil rute lain, karena kalau kembali lagi jelas pemandangannya sama. Alasan kedua adalah rutenya terlalu jauh. Dengan waktu yang sudah menunjukkan pukul 7 malam, aku harus mencari jalur terdekat untuk turun. Untungnya ada 2 pendaki yang juga akan turun, sehingga aku mengekor mereka. Sampai di kaki gunung ternyata ada semacam terminal bus bayangan yang di khususkan bagi pendaki. Hebatnya lagi, bus-bus itu masih ada jadwal keberangkatan menuju kota terdekat sampai jam 8 malam. Tepat pukul 19.30 aku sampai di Takao eki. Betul-betul perjalanan yang berharga, dalam satu hari aku menaiki tiga gunung di wilayah Tokyo, meski kalo di Indonesia dikategorikan bukit. Dengan menaiki kereta Keio Line aku duduk kelelahan di gerbong yang lenggang menuju Rikko Kaikan, my dormitory. (eko, tokyo, 081123)

Tidak ada komentar:

Tema apa yang anda harapkan?

Apakah blog ini cukup informatif dan menarik?