Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, jadi jawabnya tentu saja ada. Bagaimana bisa terjadi?
Mental buruh dalam konteks ini adalah buruh yang tidak baik, sehingga bisa dikatakan berkonotasi negatif. Bos atau pemimpin yang bermental buruh bisa dilihat dari karakter kebijaksanaan manajemen, bisa dilihat dari perilaku manajemen, bisa juga dilihat dari penggunaan kewenangan yang diberikan oleh jabatannya. Menurut Robert Half dalam Aprilia Hariani (2024), orang yang bermental buruh (bermental lemah) dapat dicirikan dari mudahnya dipengaruhi seseorang, terjebak pada masa lalu, mementingkan dirinya sendiri, suka menyalahkan orang lain, selalu ingin tampil, mudah emosi secara berlebihan, sering bimbang/ragu-ragu, dan lain sebagainya. Semua karakter itu menunjukkan lemahnya mental pemimpin dan bahkan mental buruh yang buruk.
Mementingkan dirinya sendiri adalah yang paling mudah dilihat. Selama menguntungkan dirinya, maka kegiatan/pekerjaan itu akan jalan terus, khususnya yang dilakukan oleh staf yang memahami kebutuhan keuntungan pimpinan. Hal ini tidak hanya membuat organisasi sulit mencapai misinya akan tetapi sudah menularkan penyakit yang menghancurkan organisasi. Sikap yang ragu-ragu dan terjebak pada masa lalu biasanya akan diikuti oleh perilaku yang suka menyalahkan orang lain. Tentunya hal ini akan menurunkan tingkat kepercayaan stafnya kepada bos, khususnya kepercayaan terhadap kemampuan memimpin organisasi. Jika hal itu terjadi, maka semangat staf akan stagnan dalam bekerja dan bahkan bisa menghilangkan motivasi kerjanya.
Pemimpin bermental buruh akan mengambil kebijaksanaan bahwa semua bisa berjalan karena dia. Oleh karenanya dia harus tampil, dia harus tahu sampai urusan yang sepele, dia harus turun bekerja yang sama dengan stafnya, dan dia harus diutamakan karena sebagai bos. Jika semua itu dilakukan sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan, mungkin tidak masalah dan bahkan bisa meningkatkan motivasi kerja. Namun jika selalu dilakukan dalam setiap kesempatan, maka situasi dan kondisi pekerjaan bisa berubah ke arah yang negatif. Staf akan merasa selalu diawasi, staf akan merasa bahwa pimpinan tidak percaya kepada bawahannya, atau staf merasa dianggap tidak mampu bekerja dengan baik. Untuk itu perlu pentingnya penilaian pimpinan dalam menggunakan kewenangannya, apakah saat ini adalah saat yang tepat untuk peninjauan langsung atau cukup dengan mewakilkan atau mendelegasikan tugas ke bawahannya.
Ketidakhadiran pimpinan
di lapangan atau tempat kerja di luar kantor, tidak selalu berarti buruk jika
ketidakhadirannya itu ada pendelegasian, jika ketidakhadirannya itu untuk
memberikan dukungan lain yang lebih luas, jika ketidakhadirannya mampu
menggerakkan semua pihak untuk membantu yang di lapangan (Bahren Nurdin M.A.,
2017). Octavia Pramono dalam bukunya Leadership setengah malaikat, menyebutkan
bahwa pemimpin yang sukses adalah
pemimpin yang mampu mengelola SDM atau mampu melakukan pemberdayaan semua
sumber daya organisasi. Kongkretnya bahwa seorang bos harus bisa
mendelegasikan tugas kepada stafnya, menggerakkan potensi organisasi untuk
mencapai tujuan dan bahkan mampu menggandeng pihak eksternal untuk mendukung
organisasi. Dengan demikian porsi pekerjaan seorang bos bukan pada tataran
buruh yang harus selalu hadir di lapangan, mengerjakan pekerjaan lapangan dan
selalu mengedepankan kepentingan dirinya sendiri sebagai bos.
Lalu, saya termasuk bos yang bermental apa ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar