Laman

Selasa, 23 Maret 2010

NELAYAN KAPAL CANTRANG MENGAJUKAN BANDING



Untuk yang kesekian kalinya Pengadilan Negeri Jepara mengadili nelayan kapal cantrang yang menangkap ikan di kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Kali ini yang menjadi terdakwa adalah Misron dan Suyono, keduanya warga Jobokuto, Jepara. Mereka terbukti secara sah menangkap ikan di zona pemanfaatan perikanan tradisional, tepatnya di perairan sekitar pulau Cemara Besar.

Oleh jaksa penuntut umum, mereka dituntut hukuman pidana penjara selama 1,5 tahun dengan denda sebesar 1 juta rupiah subsider 6 bulan penjara. Oleh hakim dijatuhkan putusan pidana penjara selama 1 tahun dengan denda 500 ribu rupiah subsider 3 bulan penjara. Namun kedua terdakwa menyatakan piker-pikir terhadap putusan tersebut. Bahkan dimungkinkan akan mengajukan banding dengan alasan mereka tidak tahu peraturan itu serta belum pernah melanggar sebelumnya.

Pelanggaran yang mereka lakukan adalah menangkap ikan dengan jaring cantrang di dalam kawasan perairan Taman Nasional Karimunjawa. Pengoperasian jaring cantrang tersebut menurut Kepmentan no. 392 tahun 1999 tentang jalur tangkap ikan tidak dibenarkan. Hal tersebut menurut UU no.31 tahun 2004 melanggar pasal 8 juncto pasal 84 mengenai alat tangkap yang mengancam kelestarian, pasal 9 juncto pasal 85 tentang alat tangkap yang tidak standar/dilarang. Meskipun ancaman hukuman dalam UU tersebut lebih berat daripada UU no.5 tahun 1990, namun karena pengelolaan Taman Nasional Karimunjawa berada di bawah Departemen Kehutanan, maka UU tentang KSDAHE yang dijadikan dasar. Dalam UU tersebut dijelaskan dalam pasal 33 ayat 3 bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional. Adapun ancaman hukumannya maksimal 1 tahun penjara dengan denda maksimal 50 juta rupiah.

Mengapa cantrang dilarang? Hal itu tidak lain karena pengoperasian jaring tersebut berdampak pada kerusakan habitat ikan, kelestarian ikan dan terumbu karang. Jaring ini dimodifikasi dengan pemberat sehingga dapat mencapai dasar laut. Apapun yang ada di dasar laut akan terangkat oleh jaring ini, tidak terkecuali karang yang menjadi rumah ikan dan tempat ikan bertelur. Menurut sejarahnya, jaring cantrang adalah hasil modifikasi dari jaring pukat harimau (trawl) yang telah dilarang penggunaannya sejak tahun 1980 (Kepres no.30/1980). Perbedaannya adalah pada ukuran jaringnya yang lebih kecil, ditarik oleh mesin khusus (bukan oleh kapal), bentuknya menyerupai jaring payang, dapat dioperasikan dengan kapal berukuran kecil dan hasilnya berupa ikan demersal dan udang. Karena pengoperasiannya yang mirip trawl (trawl semu), maka di beberapa daerah jaring jenis ini sudah dilarang penggunaannya. Bahkan sebenarnya secara teknis jaring cantrang tidak sesuai SK Dirjen Perikanan No. IK.40/DJ.10106/97 tanggal 23 oktober 1997 tentang bentuk dan ukuran jaring berkantong yang boleh digunakan untuk menangkap ikan.

Melihat uraian di atas maka jelaslah bahwa pengoperasian jaring cantrang tidak boleh di Karimunjawa, baik berdasarkan peraturan bidang kehutanan maupun perikanan. Oleh sebab itu setiap SIUP yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah untuk kapal dengan bobot diatas 30 GT dan/atau yang memakai alat tangkap jenis pursuseine dan cantrang selalu di tulis adanya larangan menangkap ikan di Kepulauan Karimunjawa. Maka sangat aneh jika kedua terdakwa mengajukan banding atas putusan hakim dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jepara. Namun terlepas dari rasa kemanusiaan yang dijadikan latar belakang upaya banding tersebut, putusan hakim sudah sangat tepat demi menjaga kelestarian alam khususnya di kawasan perairan Taman Nasional Karimunjawa.


Tidak ada komentar:

Tema apa yang anda harapkan?

Apakah blog ini cukup informatif dan menarik?